Sepanjang Sejarah Kudeta Mudaratnya Lebih Besar,
Ambillah Pelajaran…!
oleh :
Al-Ustadz Sofyan Chalid Ruray -hafizhahullah-
Mengambil
pelajaran dari sejarah suatu bangsa dan kisah yang telah berlalu adalah
perintah Allah ta’ala kepada kaum mukminin,
قَدْ
خَلَتْ مِن قَبْلِكُمْ سُنَنٌ فَسِيرُواْ فِي الأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ
عَاقِبَةُ الْمُكَذَّبِينَ
“Telah
lewat sebelum kalian ujian-ujian yang menimpa pengikut para nabi, maka
berjalanlah di muka bumi lalu lihatlah bagaimana akibat yang jelek bagi
orang-orang yang mendustakan.” [Ali Imron: 137]
Sejatinya,
sejarah yang telah berlalu harus memberikan pelajaran besar bagi umat Islam,
bahwa pemberontakan terhadap pemerintah muslim, yang zalim sekali pun, hanyalah
mendatangkan kemudaratan yang lebih besar dibanding manfaatnya.
Namun
sayang, masih banyak orang yang belum mau mengambil pelajaran, mereka
korbankan nyawa-nyawa kaum muslimin hanya demi meraih kekuasaan yang terampas
dari tangan mereka.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
أن
الله تعالى بعث محمدا صلى الله عليه وسلم بصلاح العباد في المعاش والمعاد وأنه أمر
بالصلاح ونهى عن الفساد فإذا كان الفعل فيه صلاح وفساد رجحوا الراجح منهما فإذا
كان صلاحه أكثر من فساده رجحوا فعله وإن كان فساده أكثر من صلاحه رجحوا تركه فإن
الله تعالى بعث رسوله صلى الله عليه وسلم بتحصيل المصالح وتكميلها وتعطيل المفاسد
وتقليلها فإذا تولى خليفة من الخلفاء كيزيد وعبد الملك والمنصور وغيرهم فإما أن
يقال يجب منعه من الولاية وقتاله حتى يولى غيره كما يفعله من يرى السيف فهذا رأى
فاسد فإن مفسدة هذا أعظم من مصلحته وقل من خرج على إمام ذي سلطان إلا كان ما
تولد على فعله من الشر أعظم مما تولد من الخير كالذين خرجوا على يزيد بالمدينة
وكابن الأشعث الذي خرج على عبد الملك بالعراق وكابن المهلب الذي خرج على ابنه
بخراسان وكأبي مسلم صاحب الدعوة الذي خرد عليهم بخراسان أيضا وكالذين خرجوا على
المنصور بالمدينة والبصرة وأمثال هؤلاء وغاية هؤلاء إما أن يغلبوا وإما أن يغلبوا
ثم يزول ملكهم فلا يكون لهم عاقبة فإن عبد الله بن علي وأبا مسلم هما اللذان قتلا
خلقا كثيرا وكلاهما قتله أبو جعفر المنصور وأما أهل الحرة وابن الأشعث وابن المهلب
وغيرهم فهزموا وهزم أصحابهم فلا أقاموا دينا ولا أبقوا دنيا والله تعالى لا يأمر
بأمر لا يحصل به صلاح الدين ولا صلاح الدنيا وإن كان فاعل ذلك من أولياء الله
المتقين ومن أهل الجنة
“Bahwa
Allah ta’ala mengutus Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam demi
kemaslahatan para hamba di kehidupan dunia dan akhirat, dan bahwa beliau
memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari kerusakan, maka apabila dalam
satu perbuatan terdapat kebaikan dan kerusakan, hendaklah kaum muslimin
mengambil mana yang paling kuat dari keduanya; jika kebaikannya lebih banyak
dari kerusakannya, hendaklah mereka melakukannya. Namun apabila kerusakannya
lebih banyak dari kebaikannya, hendaklah mereka meninggalkannya, karena
sesungguhnya Allah ta’ala mengutus Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam untuk
menghasilkan kemaslahatan dan menyempurnakannya, serta menghilangkan
kemudaratan dan menguranginya.
Maka,
jika yang berkuasa dari kalangan khalifah (yang tidak lebih pantas) seperti
Yazid, Abdul Malik, Al-Manshur dan selain mereka; bisa jadi dikatakan bahwa
wajib mencopotnya dan memeranginya sampai ia lengser dan digantikan oleh yang
lainnya, sebagaimana yang dilakukan oleh mereka yang berpendapat bolehnya
pemberontakan, maka ini adalah pendapat yang rusak, karena sungguh kerusakannya
lebih besar dari kemaslahatannya.
Dan
pada umumnya, tidaklah mereka memberontak kepada penguasa kecuali timbul
kejelekan yang lebih besar dibanding kebaikan, seperti mereka yang memberontak
kepada Yazid di Madinah, pemberontakan Ibnul Asy’ats terhadap Abdul Malik di
Iraq, pemberontakan Ibnul Mulhab terhadap anaknya Abdul Malik di Khurasan,
pemberontakan Abu Muslim yang menyerukan pemberontakan terhadap penguasa di
Khurasan, juga pemberontakan terhadap Al-Manshur di Madinah dan Bashroh dan
yang semisalnya, pada akhirnya dua kemungkinan, mereka dikalahkan atau mereka
menang lalu berakhirlah kekuasaan pemerintah sebelumnya, namun yang terjadi
adalah tidak ada hasil yang baik bagi para pemberontak tersebut.
Abdullah
bin Ali dan Abu Muslim yang melakukan pemberontakan dengan membunuh banyak
orang akhirnya keduanya dibunuh oleh Abu Ja’far Al-Manshur, adapun penduduk
Al-Harah, Ibnul Asy’ats, Ibnul Mulhab dan selain mereka akhirnya menderita
kekalahan, demikian pula pasukan-pasukannya, sehingga mereka tidaklah
menegakkan agama dan tidak pula menyisakan dunia, padahal Allah ta’ala tidak
memerintahkan suatu perkara yang tidak menghasilkan kebaikan bagi agama ataupun
dunia, meskipun yang memberontak itu dari kalangan wali Allah yang bertakwa dan
termasuk penduduk surga (perbuatan mereka tidak dapat dibenarkan).” [Minhaajus Sunnah, 4/313-315]
Apa
yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam di atas tidaklah terlalu jauh dengan apa
yang terjadi di masa ini. Berawal dari demonstrasi dan celaan-celaan terhadap
pemerintah di media massa ,
hingga akhirnya mereka mengangkat senjata untuk kudeta.
Tatkala
mereka berkuasa, pihak lain pun melakukan pemberontakan terhadap mereka.
Setelah kekuasaan mereka tumbang, mereka pun kembali melakukan pemberontakan,
demikian seterusnya hingga nyawa-nyawa kaum muslimin yang menjadi korban.
Belum
cukupkah ini menjadi pelajaran berharga bagi kaum muslimin,
فَاعْتَبِرُوا
يَا أُولِي الأَبْصَار
“Maka
ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang memiliki
pandangan.” [Al-Hasyr: 2]
HARAMNYA PEMBERONTAKAN
KEPADA PENGUASA MUSLIM YANG ADIL MAUPUN YANG ZALIM
Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
رَأَى مِنْ أَمِيرِه شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ
الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ فَمِيتَةٌ جَاهِلِيَّةٌ
“Barangsiapa
yang melihat suatu (kemungkaran) yang ia benci pada pemimpinnya, maka hendaklah
ia bersabar, karena sesungguhnya barangsiapa yang memisahkan diri dari jama’ah
(pemerintah) sejengkal saja, kemudian ia mati, maka matinya adalah mati
jahiliyah.” [HR. Al-Bukhari
dan Muslim dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma]
Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّكُمْ
سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَة وَأُمُورًا تُنْكِرُونَهَا قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا
يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ أَدُّوا إِلَيْهِمْ حَقَّهُمْ وَسَلُوا اللَّهَ حَقَّكُمْ
“Sesungguhnya
kalian akan melihat (pada pemimpin kalian) kecurangan dan hal-hal yang kalian
ingkari (kemungkaran)”. Mereka bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami
wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Tunaikan hak mereka (pemimpin) dan
mintalah kepada Allah hak kalian.” [HR.
Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu]
Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda,
يَكُونُ
بَعْدِى أَئِمَّة لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى
وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِى جُثْمَانِ
إِنْسٍ قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ
قَالَ تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ
فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
“Akan
ada sepeninggalku para penguasa yang tidak meneladani petunjukku dan tidak
mengamalkan sunnahku, dan akan muncul diantara mereka (para penguasa)
orang-orang yang hati-hati mereka adalah hati-hati setan dalam jasad manusia.”
Aku (Hudzaifah) berkata, “Bagaimana aku harus bersikap jika aku mengalami hal
seperti ini?” Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Engkau tetap
dengar dan taat kepada pemimpin itu, meskipun punggungmu dipukul dan hartamu
diambil, maka dengar dan taatlah.” [HR.
Muslim dari Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallahu’anhu]
Sahabat
yang Mulia, Ubadah bin Shamit radhiyallahu’anhu berkata,
دَعَانَا
رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَبَايَعْنَاه فَكَانَ فِيمَا
أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِى مَنْشَطِنَا
وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ
الأَمْرَ أَهْلَهُ قَالَ إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ
اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
“Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam menyeru kami, lalu kami pun membai’at beliau.
Diantara sesuatu yang beliau ambil bai’at atas kami adalah, kami membai’at
beliau untuk senantiasa mendengar dan taat kepada pemimpin, baik pada saat kami
senang maupun susah; sempit maupun lapang, dan dalam keadaan hak-hak kami tidak
dipenuhi, serta agar kami tidak berusaha merebut kekuasaan dari pemiliknya.
Beliau bersabda, “Kecuali jika kalian telah melihat kekafiran yang nyata,
sedang kalian memiliki dalil dari Allah tentang kekafirannya.” [HR. Al-Bukhar dan Muslim]
Sahabat
yang Mulia Wail bin Hujr radhiyallahu’anhu berkata,
سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَرَجُلٌ سَأَلَهُ فَقَالَ أَرَأَيْتَ إِنْ
كَانَ عَلَيْنَا أُمَرَاءُ يَمْنَعُونَا حَقَّنَا وَيَسْأَلُونَا حَقَّهُم فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ
مَا حُمِّلُوا وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ
“Aku
mendengar Rasulullah dhallallahu alaihi wa sallam ketika seseorang bertanya
kepada Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-, “Apa pendapat Anda jika para
pemimpin kami tidak memenuhi hak kami (sebagai rakyat), namun tetap meminta hak
mereka (sebagai pemimpin)?” Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
“Dengar dan taati (pemimpin kalian), karena sesungguhnya dosa mereka adalah
tanggungan mereka dan dosa kalian adalah tanggungan kalian.” [HR. Muslim dan At-Tirmidz, Ash-Shahihah
: 3176]
KESEPAKATAN ULAMA ISLAM
ATAS HARAMNYA
PEMBERONTAKAN
Al-Imam
Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah
berkata,
ولا
نرى الخروج على أئمتنا وولاة أُمورنا ، وإن جاروا ، ولا ندعوا عليهم ، ولا ننزع
يداً من طاعتهم ونرى طاعتهم من طاعة الله عز وجل فريضةً ، ما لم يأمروا بمعصيةٍ ،
وندعوا لهم بالصلاح والمعافاة
“Kami
tidak memandang bolehnya memberontak kepada para pemimpin dan pemerintah kami,
meskipun mereka berbuat zhalim. Kami tidak mendoakan kejelekan bagi mereka.
Kami tidak melepaskan diri dari ketaatan kepada mereka dan kami memandang
ketaatan kepada mereka adalah ketaatan kepada Allah sebagai suatu kewajiban,
selama yang mereka perintahkan itu bukan kemaksiatan (kepada Allah). Kami
doakan mereka dengan kebaikan dan keselamatan.” [Matan Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah]
Ulama
Besar Syafi’iyah Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
وأجمع
أهل السنة أنه لا ينعزل السلطان بالفسق وأما الوجه المذكور في كتب الفقه لبعض
أصحابنا أنه ينعزل وحكى عن المعتزلة أيضا فغلط من قائله مخالف للإجماع قال العلماء
وسبب عدم انعزاله وتحريم الخروج عليه ما يترتب على ذلك من الفتن واراقة الدماء
وفساد ذات البين فتكون المفسدة في عزله أكثر منها في بقائه قال القاضي عياض أجمع
العلماء على أن الإمامة لا تنعقد لكافر وعلى أنه لو طرأ عليه الكفر انعزل
“Ahlus
Sunnah telah sepakat bahwa tidak boleh seorang penguasa dilengserkan karena
kefasikan (dosa besar) yang ia lakukan. Adapun pendapat yang disebutkan pada
kitab-kitab fiqh yang ditulis oleh sebagian sahabat kami (Syafi’iyah) bahwa
penguasa yang fasik harus dilengserkan dan pendapat ini juga dinukil dari kaum
Mu’tazilah, maka telah salah besar. Orang yang berpendapat demikian menyelisihi
ijma’.
Para
ulama telah berkata, “Sebab tidak bolehnya penguasa zalim dilengserkan dan
haramnya memberontak kepadanya karena akibat dari hal itu akan muncul berbagai
macam fitnah (kekacauan), ditumpahkannya darah dan rusaknya hubungan, sehingga
kerusakan dalam pencopotan penguasa zalim lebih banyak disbanding tetapnya ia
sebagai penguasa”. Al-Qodhi ‘Iyadh –rahimahullah- berkata, “Ulama sepakat bahwa
kepemimpinan tidak sah bagi orang kafir, dan jika seorang pemimpin menjadi
kafir harus dicopot.” [Syarhu
Muslim, 12/229]
AI-Hafizh
Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
وقد
أجمع الفقهاء على وجوب طاعة السلطان المتغلب والجهاد معه وأن طاعته خير من الخروج
عليه لما في ذلك من حقن الدماء وتسكين الدهماء
“Dan
telah sepakat fuqoha atas wajibnya taat kepada penguasa yang sedang berkuasa
dan berjihad bersamanya, dan (mereka juga sepakat) bahwa taat kepadanya lebih
baik disbanding memberontak, sebab dengan itu darah terpelihara dan membuat
nyaman kebanyakan orang.” [Lihat
Fathul Bari ,
13/7]
BANTAHAN TERHADAP PENDAPAT
BOLEHNYA MEMBERONTAK TERHADAP PEMIMPIN YANG ZALIM KARENA TELAH DILAKUKAN OLEH
SEBAGIAN SALAF
Pertama: Pendapat
yang membolehkan pemberontakan adalah pendapat yang sangat lemah, karena
bertentangan dengan dalil-dalil syari’at.
Kedua: Andai
benar sekali pun bahwa sebagian ulama Ahlus Sunnah dahulu ada yang berpendapat
boleh memberontak kepada pemimpin yang zalim, maka ketahuilah setelah itu ulama
sepakat atas keharamannya.
Al-Imam
An-Nawawi rahimahullah berkata,
قال القاضي وقيل أن
هذا الخلاف كان أولا ثم حصل الإجماع على منع الخروج عليهم والله اعلم
“Al-Qodhi
‘Iyadh rahimahullah berkata: Dan dikatakan bahwa khilaf ini terjadi dahulu,
kemudian telah sepakat (ijma’ ulama) akan dilarangnya pemberontakan, wallaahu
a’lam.” [Syarah Muslim,
12/229]
Al-Hafizh
Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
وقولهم
كان يرى السيف يعني كان يرى الخروج بالسيف على ائمة الجور وهذا مذهب للسلف قديم
لكن استقر الامر على ترك ذلك لما رأوه قد افضى إلى أشد منه ففي وقعة الحرة ووقعة
ابن الاشعث وغيرهما عظة لمن تدبر
“Dan
ucapan para Ulama: (كان يرى السيف),
maknaknya adalah, dia (Al-Hasan bin Shalih) berpendapat boleh memberontak
dengan pedang terhadap penguasa yang zalim. Pendapat ini dahulu merupakan
mazhab sebagian Salaf. Akan tetapi setelah itu telah tetap pendapat Salaf akan
tidak bolehnya melakukan pemberontakan, karena mereka telah melihat bahwa
pemberontakan hanya mengantarkan kepada kondisi yang lebih buruk. Pada
peristiwa Al-Harah, pemberontakan Ibnul Asy’ats dan lainnya terdapat pelajaran
bagi orang yang merenunginya.” [Tahzibut
Tahzib, 2/250]
Ketiga: Setelah
kesepakatan ulama ini tetapi masih ada saja penuntut ilmu yang menyebarkan
pendapat bahwa ulama berbeda pendapat, dan berdalil dengan perbuatan sebagian
ulama yang menyelisihi dalil, maka sesungguhnya ia bukan penuntut ilmu
melainkan pencari ‘fitnah’.
Asy-Syaikh
Al-‘Allaamah Prof. DR. Shalih Al-Fauzan hafizhahullah
berkata,
الذي
يقول هذا الكلام (الخروج على الحكام مسألة خلافية) طالب فتنة، ليس طالب علم!!
“Orang
yang mengatakan ada perbedaan pendapat ulama dalam masalah pemberontakan
terhadap pemerintah adalah pencari ‘fitnah’ bukan penuntut ilmu!!” [Rekaman Fatwa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah]
HARAMNYA PEMBERONTAKAN
MESKI TERHADAP PEMERINTAH YANG MERAIH KEKUASAAN
DENGAN CARA YANG SALAH
Al-Imam
Ali bin Madini rahimahullah berkata,
ومن خرج علي امام من
ائمة المسلمين وقد اجتمع عليه الناس فأقروا له بالخلافة بأي وجه كانت برضا
كانت أو بغلبة فهو شاق هذا الخارج عليه العصا وخالف الآثار عن رسول الله صلى الله
عليه و سلم فإن مات الخارج عليه مات ميتة جاهلية
“Brangsiapa
yang memberontak kepada salah seorang pemimpin kaum muslimin, padahal manusia
telah berkumpul di bawah kepemimpinannya, mereka pun mengakui kepemimpinannya,
dengan cara apa saja ia mendapati kepemimpinan itu, apakah dengan kerelaan
atau dengan paksa, maka orang yang memberontak itu telah merusak persatuan kaum
muslimin dan menyelisihi hadits-hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,
jika pemberontak ini mati maka matinya jahiliyah.” [Syarhul I’tiqod Ahlis Sunnah wal Jama’ah lil Laalikaai,
1/168]
Asy-Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata,
“Aku
memandang wajibnya mendengar dan mentaati para pemimpin kaum muslimin, apakah
itu pemimpin yang baik maupun jahat, selama mereka perintahkan itu bukan
kemaksiatan. Dan siapa yang memimpin khilafah dan manusia bersatu dalam
kepemimpinannya, mereka ridho kepadanya, meski pun dia mengalahkan mereka
dengan pedang hingga menjadi pemimpin, maka wajib taat kepadanya dan haram
memisahkan diri (memberontak) kepadanya.” [Syarhu Risalah Ila Ahlil Qosim, Syaikh Shalih Al-Fauzan,
hal. 157]
PEMBERONTAKAN DENGAN KATA-KATA JUGA DIHARAMKAN
Al-Hafizh
Ibnu Hajar Al-Asqolani Asy-Syafi’i rahimahullah
berkata,
والقعدية
قوم من الخوارج كانوا يقولون بقولهم ولا يرون الخروج بل يزينونه
“Al-Qo’adiyah
adalah satu kaum dari golongan Khawarij yang dahulu berpendapat dengan ucapan
mereka, dan mereka tidak memandang untuk memberontak, akan tetapi mereka
memprovokasi untuk melakukannya (dengan kata-kata).” [Fathul Bari, 1/432]
Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah
berkata,
بل
العجب أنه وُجّه الطعن إلى الرسول صلى الله عليه وسلم ، قيل لـه : اعدل، وقيل لـه:
هذه قسمة ما أريد بها وجه الله. وهذا أكبر دليل على أن الخروج على الإمام يكون
بالسيف ويكون بالقول والكلام، يعني: هذا ما أخذ السيف على الرسول صلى الله عليه
وسلم، لكنه أنكر عليه.
ونحن
نعلم علم اليقين بمقتضى طبيعة الحال أنه لا يمكن خروج بالسيف إلا وقد سبقه خروج
باللسان والقول. الناس لا يمكن أن يأخذوا سيوفهم يحاربون الإمام بدون شيء يثيرهم،
لا بد أن يكون هنـاك شيء يثـيرهم وهو الكلام. فيكون الخروج على الأئمة بالكلام
خروجاً حقيقة، دلت عليه السنة ودل عليه الواقع
“Sangat
mengherankan tatkala celaan itu diarahkan kepada Rasulullah shallallahu’alaihi
wa sallam (yaitu yang dilakukan oleh pentolan Khawarij, Dzul Khuwaisiroh).
Dikatakan kepada beliau, “Berlaku adillah!” Juga dikatakan, “Pembagianmu ini
tidak menginginkan wajah Allah!” Ini adalah sebesar-besarnya dalil yang
menunjukkan bahwa memberontak kepada penguasa bisa jadi dengan senjata, bisa
jadi pula dengan ucapan dan kata-kata. Maksudnya, orang ini tidaklah memerangi
Rasul -shallallahu’alaihi wa sallam- dengan pedang, akan tetapi ia mengingkari
beliau (dengan ucapan di depan umum).
Kita
tahu dengan pasti bahwa kenyataannya, tidak mungkin terjadi pemberontakan
dengan senjata, kecuali telah didahului dengan pemberontakan dengan lisan dan
ucapan. Manusia tidak mungkin mengangkat senjata untuk memerangi penguasa tanpa
ada sesuatu yang bisa memprovokasi mereka. Mesti ada yang bisa memprovokasi
mereka, yaitu dengan kata-kata. Jadi, memberontak terhadap penguasa dengan
kata-kata adalah pemberontakan secara hakiki, berdasarkan dalil As-Sunnah
dan kenyataan.” [Fatawa Al-‘Ulama Al-Akabir,
hal. 96]
Asy-Syaikh
Abdul Aziz Ar-Rajihi hafizhahullah berkata,
فلا
يجوز للإنسان أن ينشر المعايب. هذا نوع من الخروج, إذا نُشِرَتِ المعايب -معايب
الحكام والولاة- على المنابر, وفي الصحف والمجلات, وفي الشبكة المعلوماتية؛ أبغض
الناس الولاة, وألبوهم عليهم, فخرج الناس عليهم
“Tidak
boleh bagi seseorang untuk menyebarkan aib-aib Pemerintah, ini termasuk
pemberontakan, apabila aib-aib Penguasa disebarkan di mimbar-mimbar,
koran-koran, majalah-majalah dan jaringan informasi, maka membuat orang-orang
marah dan berkumpul untuk melawan, maka mereka pun memberontak kepada
Pemerintah.” [Syarhul Mukhtar fi Ushulis Sunnah,
hal. 339]
SOLUSI DALAM MENGHADAPI
PEMERINTAH YANG ZALIM
Islam
adalah agama yang sempurna, jika melarang sesuatu maka pasti ada solusinya yang
lebih baik, dan jika seseorang kembali kepada metode beragama yang benar
(manhaj Salaf), insya Allah ta’ala ia akan temukan semua solusi terhadap
berbagai masalah yang dihadapi umat manusia, yaitu dengan bimbingan ilmu dan
merujuk kepada ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Sabar
dan doa, bersabar dan bertakwa, inilah yang diperintahkan oleh Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam ketika berhadapan dengan penguasa yang zalim.
Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ
الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ فَمِيتَةٌ جَاهِلِيَّةٌ
“Barangsiapa
yang melihat suatu (kemungkaran) yang ia benci pada pemimpinnya, maka hendaklah
ia bersabar, karena sesungguhnya barangsiapa yang memisahkan diri dari jama’ah
(pemerintah) kemudian ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah
bin Abbas radhiyallahu’anhuma]
Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّكُمْ
سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً وَأُمُورًا تُنْكِرُونَهَا قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا
يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ أَدُّوا إِلَيْهِمْ حَقَّهُمْ وَسَلُوا اللَّهَ حَقَّكُمْ
“Sesungguhnya
kalian akan melihat (pada pemimpin kalian) kecurangan dan hal-hal yang kalian
ingkari (kemungkaran)”. Mereka bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada
kami wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Tunaikan hak mereka (pemimpin) dan
mintalah kepada Allah hak kalian (berdoa).” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud
radhiyallahu’anhu]
Al-Imam
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,
“Demi
Allah, andaikan manusia bersabar dengan musibah berupa kezaliman penguasa, maka
tidak lama Allah ta’ala akan menghilangkan kezaliman tersebut dari mereka,
namun apabila mereka mengangkat senjata melawan penguasa yang zalim, maka
mereka akan dibiarkan oleh Allah. Dan demi Allah, hal itu tidak akan
mendatangkan kebaikan kapan pun. Kemudian beliau membaca firman Allah ta’ala,
وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ الْحُسْنَى عَلَى بَنِي
إِسْرَائِيلَ بِمَا صَبَرُوا وَدَمَّرْنَا مَا كَانَ يَصْنَعُ فِرْعَوْنُ
وَقَوْمُهُ وَمَا كَانُوا يَعْرِشُونَ
“Maka
sempurnalah kalimat Rabbmu yang maha baik kepada Bani Israil disebabkan
kesabaran mereka dan Kami musnahkan apa yang diperbuat oleh Fir’aun dan kaumnya
dan apa yang mereka bina.” (Al-A’rof: 137).” [Lihat Madarikun Nazhor, hal. 6]
Al-Imam
Al-Hasan Al-Basri rahimahullah juga berkata,
إن
الحجاج عذاب الله فلا تدفعوا عذاب الله بأيديكم ولكن عليكم بالاستكانة والتضرع فإن
الله تعالى يقول ولقد أخذناهم بالعذاب فما استكانوا لربهم وما يتضرعون
“Sesungguhnya
Al-Hajjaj (penguaza zalim) adalah azab Allah, maka janganlah kalian menolak
azab Allah dengan tangan-tangan kalian, akan tetapi hendaklah kalian
merendahkan diri karena takut kepada-Nya dan tunduk berdoa, karena Allah ta’ala
berfirman,
وَلَقَدْ أَخَذْنَاهُمْ بِالْعَذَابِ فَمَا اسْتَكَانُوا
لِرَبِّهِمْ وَمَا يَتَضَرَّعُونَ
“Dan
sungguh Kami telah timpakan kepada mereka azab, namun mereka tidak takut kepada
Rabb mereka dan tidak pula berdoa.” (Al-Mu’minun: 76).” [Lihat Minhaajus Sunnah, 4/315]
Al-Imam
Thalq bin Habib rahimahullah berkata,
اتقوا
الفتنة بالتقوى فقيل له أجمل لنا التقوى فقال أن تعمل بطاعة الله على نور من الله
ترجو رحمة الله وأن تترك معصية الله على نور من الله تخاف عذاب الله رواه أحمد
وابن أبي الدنيا
“Hadapilah
fitnah (kekacauan) dengan ketakwaan.” Maka dikatakan kepada beliau: “Jelaskan
kepada kami secara global apa itu taqwa?” Beliau berkata: “Takwa adalah engkau
mengamalkan ketaatan kepada Allah berdasarkan cahaya (ilmu) dari Allah dalam
keadaan engkau mengharap rahmat Allah, dan engkau tinggalkan kemaksiatan kepada
Allah berdasarkan cahaya (ilmu) dari Allah dalam keadaan engkau takut azab
Allah.” (Diriwayatkan Imam Ahmad dan Ibnu Abid Dunya).” [Lihat Minhaajus Sunnah, 4/315]
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
وكان
أفاضل المسلمين ينهون عن الخروج والقتال في الفتنة كما كان عبد الله بن عمر وسعيد
بن المسيب وعلي بن الحسين وغيرهم ينهون عام الحرة عن الخروج على يزيد وكما كان
الحسن البصري ومجاهد وغيرهما ينهون عن الخروج في فتنة ابن الأشعث ولهذا استقر أمر
أهل السنة على ترك القتال في الفتنة للأحاديث الصحيحة الثابته عن النبي صلى الله
عليه وسلم وصاروا يذكرون هذا في عقائدهم ويأمرون بالصبر على جور الأئمة وترك
قتالهم وإن كان قد قاتل في الفتنة خلق كثير من أهل العلم والدين
“Para
pembesar kaum muslimin melarang dari pemberontakan dan peperangan dalam masa
fitnah, sebagaimana Abdullah bin Umar, Sa’id bin Al-Musayyib, Ali bin Al-Hasan
dan selainnya melarang kaum muslimin dari pemberontakan terhadap Yazid di masa
Al-Harah. Sebagaimana juga Al-Hasan Al-Basri, Mujahid dan selainnya melarang
dari pemberontakan pada fitnah Ibnul Asy’ats. Oleh karena itu, telah tetap
pendapat Ahlus Sunnah bahwa tidak boleh berperang di masa fitnah berdasarkan
hadits-hadits shahih yang berasal dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Dan
para ulama terus menyebutkan hal ini dalam kitab-kitab aqidah mereka, dan para
ulama memerintahkan umat untuk bersabar menghadapi kezaliman penguasa dan tidak
memerangi mereka, meskipun pernah terlibat banyak ahli ilmu dan ibadah dalam
peperangan di masa fitnah (tetap saja hal itu salah).” [Mihaajus Sunnah, 4/315-316]
Sumber:
══════ ❁✿❁ ══════
Channel Telegram
Ustadz Sofyan Chalid Ruray hafizhahullah
q Join Telegram: http://bit.ly/1TwCsBr
q Gabung Group WA: 08111377787
q Web: www.sofyanruray.info
q Android: http://bit.ly/1FDlcQo
q Youtube: Ta’awun Dakwah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar