Hukum-hukum
Ibadah Qurban dan Penyembelihan
oleh :
Sofyan Chalid bin Idham Ruray
oleh :
Sofyan Chalid bin Idham Ruray
Alhamdulillah,
segala puji hanya bagi Allah ta’ala atas segala nikmat yang dicurahkan kepada
hamba-hamba-Nya. Seorang hamba dituntut untuk selalu beribadah kepada Allah
ta’ala sepanjang hayatnya. Allah ta’ala berfirman,
وَاعْبُدْ
رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Dan
beribadahlah kepada Rabbmu sampai datang kepadamu kematian.” [Al-Hijr: 99]
Dengan
hikmah dan rahmat-Nya, Allah ta’ala juga menetapkan berbagai macam bentuk
ibadah di waktu-waktu tertentu. Semua itu dalam rangka menyempurnakan
tujuan penciptaan manusia di muka bumi ini.
Allah
ta’ala berfirman,
وَمَا
خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ
رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو
الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
“Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah
kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak
menghendaki supaya mereka memberi–Ku makan. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha
Pemberi Rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kukuh.” [Adz-Dzariyat: 56-58]
Diantara
waktu yang sangat utama untuk beribadah kepada Allah ta’ala adalah satu bulan
yang mulia dalam Islam, yaitu bulan Dzulhijjah, terutama sepuluh hari awalnya.
Allah
ta’ala berfirman,
وَالْفَجْرِ
وَلَيَالٍ عَشْرٍ
“Demi
waktu fajar. Dan demi malam yang sepuluh.” [Al-Fajr:
1-2]
Banyak
ahli tafsir menjelaskan bahwa makna “malam yang sepuluh” dalam
ayat diatas adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, dan Allah ta’ala
bersumpah dengannya menunjukkan bahwa ia memiliki keutamaan.
Al-Imam Ibnu Katsir –rahimahullah-
menyebutkan dalam Tafsir beliau,
والليالي
العشر: المراد بها عشر ذي الحجة. كما قاله ابن عباس، وابن الزبير، ومجاهد، وغير
واحد من السلف والخلف
“Sepuluh
malam yang dimaksud dalam ayat ini adalah sepuluh hari pertama di bulan
Dzulhijjah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Ibnuz Zubair, Mujahid dan
banyak lagi ulama dari kalangan Salaf dan Khalaf yang berpendapat demikian.” [Tafsir Ibnu Katsir, 8/390]
Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam juga telah menjelaskan keutamaannya dalam
sabda beliau,
مَا
مِنْ أَيَّامٍ العَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ هَذِهِ
الأَيَّامِ العَشْرِ ، فَقَالُوا : يَا رَسُولَ اللهِ ، وَلاَ الجِهَادُ فِي
سَبِيلِ اللهِ ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : وَلاَ
الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ ، إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ
يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ
“Tidaklah
ada hari-hari yang lebih dicintai Allah ta’ala untuk beramal shalih melebihi
sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah.” Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah,
tidak pula jihad di jalan Allah?” Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
bersabda, “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali seseorang yang keluar berjihad
bersama diri dan hartanya, lalu tidak ada yang kembali sedikitpun.” [HR. Al-Bukhari, no. 969 dan At-Tirmidzi, no. 757
dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma. Lafazh ini milik At-Tirmidzi dan
dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani]
Amalan-amalan di Bulan Dzulhijjah
Pertama: Memperbanyak Amal Shalih
Hadits
di atas menunjukkan disyari’atkannya memperbanyak amal shalih secara umum pada
sepuluh hari pertama Dzulhijjah, sebagaimana juga disebutkan dalam riwayat yang
lain dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, Nabi shallallahu’alaihi
wa sallam bersabda,
مَا
مِنْ عَمَلٍ أَزْكَى عِنْدَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلاَ أَعْظَمَ أَجْرًا مِنْ
خَيْرٍ يَعْمَلُهُ فِي عَشْرِ الأَضْحَى
“Tidak
ada satu amalan yang lebih suci di sisi Allah ‘azza wa jalla dan lebih besar
pahalanya dari satu kebaikan yang dilakukan seseorang pada sepuluh hari pertama
Dzulhijjah.” [HR. Ad-Darimi dalam Sunan-nya
no. 1776 dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, no. 3476,
dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib,
no. 1248]
Kedua: Haji dan Umroh
Ibadah
umroh disyari’atkan sepanjang tahun, adapun menyatukan ibadah haji dan umroh
sekaligus hanyalah disyari’atkan pada bulan
Syawwal, Dzulqa’dah dan sebagian Dzulhijjah.
Allah
ta’ala berfirman,
الْحَجُّ
أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ
فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُواْ مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ
اللَّهُ وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا
أُوْلِي الأَلْبَابِ
“(Musim)
haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya
dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh berbuat keji, berbuat
fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu
kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya
sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang
berakal.” [Al-Baqoroh: 197]
Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
الْعُمْرَةُ
إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ
لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
“Antara
umroh sampai umroh berikutnya adalah penghapus dosa yang dilakukan antara
keduanya, dan haji yang mabrur tidaklah ada balasannya kecuali surga.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
Adapun
yang dimaksud dengan haji mabrur adalah haji yang memenuhi minimal tiga syarat:
q Ikhlas karena Allah ta’ala, yang dilandasi dengan tauhid yang
murni tanpa tercampur dengan kesyirikan sedikitpun, dan bukan karena ingin
pamer atau ingin dipanggil “Pak Haji” dan “Bu Haji”
q Mencontoh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam pelaksanaannya, tidak
melakukan bid’ah atau amalan yang tidak berdasarkan pada Al-Qur’an dan
As-Sunnah
q Berusaha menjauhi
perbuatan-perbuatan yang haram
sebelum menunaikan ibadah haji, ketika menunaikannya maupun setelahnya.
Ketiga: Puasa Sunnah
Puasa
yang disunnahkan adalah puasa sunnah secara umum pada 9 hari pertama di bulan
Dzulhijjah, berdasarkan keumuman dalil tentang keutamaan amal shalih pada
sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah. Adapun tanggal 10, 11, 12, 13
Dzulhijjah diharamkan berpuasa.
Dan
juga terdapat dalil khusus disyari’atkannya berpuasa pada tanggal 9 Dzulhijjah
(hari Arafah) bagi selain jama’ah haji. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam
menjelaskan keutamaannya,
ثَلاَثٌ
مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ فَهَذَا صِيَامُ الدَّهْرِ كُلِّهِ
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ
الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ
أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ
“Puasa
tiga hari tiap bulan, puasa Ramadhan sampai Ramadhan berikutnya, maka inilah
puasa yang bagaikan berpuasa setahun penuh, puasa Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah)
aku harapkan kepada Allah dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun
yang akan datang, dan puasa Asyura (tanggal 10 Muharram) aku harap kepada Allah
dapat menghapuskan dosa setahun lalu.” [HR.
Muslim dari Qotadah radhiyallahu’anhu]
Keempat: Memperbanyak Tahlil, Takbir, Tahmid dan
Dzikir-dzikir Lainnya yang Disyari’atkan
Allah
ta’ala berfirman,
وَيَذْكُرُوا
اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ
“Dan
hendaklah mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah dimaklumi
tersebut.” [Al-Hajj: 28]
Dan
juga firman Allah ta’ala,
وَاذْكُرُوا
اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ
“Dan
berdzikirlah dengan menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan.”[Al-Baqoroh: 203]
Al-Imam
Al-Bukhari –rahimahullah- meriwayatkan dalam Shahih beliau,
وَقَالَ
ابْنُ عَبَّاسٍ وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ أَيَّامُ الْعَشْرِ
وَالأَيَّامُ الْمَعْدُودَاتُ أَيَّامُ التَّشْرِيقِ
“Dan
berkata Ibnu ‘Abbas, Berdzikirlah kepada Allah pada hari-hari yang telah
dimaklumimaksudnya adalah pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah, sedangkan hari-hari
yang sudah ditentukan adalah hari-hari tasyriq (penyembelihan).”
Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
مَا
مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ وَلاَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعَمَلُ فِيهِنَّ
مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ الْعَشْرِ ، فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنَ التَّهْلِيلِ
وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيدِ
“Tidaklah
ada hari-hari yang lebih agung di sisi Allah dan amal shalih yang lebih
dicintai Allah ta’ala daripada sepuluh hari pertama Dzulhijjah, maka
perbanyaklah ucapan tahlil, takbir dan tahmid.” [HR. Ahmad no. 6154 dari Ibnu Umarradhiyallahu’anhuma,
dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Syu’aib Al-Anauth]
Penjelasan
di atas menunjukkan bahwa jumlah hari yang disunnahkan untuk memperbanyak
dzikir adalah sebanyak 13 hari, yaitu 10 hari awal Dzulhijjah dan 3 hari
Tasyriq.
Beberapa Ketentuan
tentang Takbir
Terdapat
dalil secara khusus untuk memperbanyak takbir dan mengeraskannya (bagi
laki-laki, adapun bagi wanita hendaklah dipelankan suaranya), baik di masjid,
di rumah maupun di tempat umum, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Imam
Al-Bukhari –rahimahullah- dalam Shahih beliau,
وَكَانَ
ابْنُ عُمَرَ وَأَبُو هُرَيْرَةَ يَخْرُجَانِ إِلَى السُّوقِ فِي أَيَّامِ
الْعَشْرِ يُكَبِّرَانِ وَيُكَبِّرُ النَّاسُ بِتَكْبِيرِهِمَا وَكَبَّرَ
مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ خَلْفَ النَّافِلَةِ
“Dahulu
Ibnu Umar dan Abu Hurairah keluar menuju pasar pada sepuluh hari pertama
Dzulhijjah dalam keadaan bertakbir dan manusia pun ikut bertakbir, dan Muhammad
bin Ali bertakbir setelah sholat sunnah.”
Ulama
menjelaskan bahwa takbir di sini ada dua bentuk:
Takbir muthlaq, yaitu takbir
yang dibaca kapan saja tanpa terikat waktu, dimulai sejak awal Dzulhijjah
sampai akhir hari Tasyriq
Takbir muqoyyad, yaitu
takbir yang terkait dengan waktu sholat, dibaca setiap selesai sholat lima waktu, dimulai sejak
shubuh hari Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah) sampai akhir hari Tasyriq.
Hal
ini disyari’atkan berdasarkan ijma’ dan perbuatan sahabat -radhiyallahu’anhum-.
[Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 8/312 no. 10777].
Takbir
ini disyari’atkan bagi selain jama’ah haji. Adapun bagi jama’ah haji disunnahkan
untuk memperbanyak ucapan talbiyah sampai melempar jamrah
‘aqobah pada tanggal 10 Dzulhijjah, barulah dibolehkan bertakbir, dan
boleh mulai bertakbir sejak lemparan pertama pada jamrah ‘aqobah tersebut
sampai akhir hari tasyriq.
Dan
boleh juga bagi jama’ah haji untuk menggabungkan antara takbir dan talbiyah,
yakni terkadang membaca takbir dan terkadang membaca talbiyah,
namun yang afdhal bagi yang sedang ihram untuk mengucapkan talbiyah,
sedang bagi yang tidak ihram untuk bertakbir. Dan takbir ini dibaca
sendiri-sendiri, adapun membacanya secara berjama’ah dengan satu suara atau
dipimpin oleh seseorang maka termasuk perbuatan bid’ah, mengada-ada dalam agama [Lihat Majmu’
Fatawa Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah, 13/19].
Apalagi
sampai mengadakan konvoi di jalanan yang dapat mengganggu ketertiban umum dan
terjadi berbagai macam kemaksiatan seperti ikhtilat (campur baur
antara laki-laki dan wanita), meneriakkan takbir diiringi alat-alat musik
(padahal musik itu sendiri diharamkan dalam Islam) dan berbagai kemungkaran
lainnya yang biasa terjadi pada malam dan hari raya.
Adapun
lafaz takbir diantaranya adalah seperti yang diriwayatkan dari Abdullah
bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, beliau membaca takbir pada hari-hari
tasyriq,
الله
أكبر، الله أكبر، لا إله إلا الله، والله أكبر، الله أكبر، ولله الحمد
“Allahu
Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaaha illaLlah, waLlahu Akbar, Allahu Akbar, wa
liLlahil hamd” (Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada yang berhak
disembah selain Allah, dan Allah Maha Besar, dan segala puji hanya bagi
Allah).”[HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf-nya
no. 5697, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa no. 654 dan beliau
mendha’ifkan hadits Jabir radhiyallahu’anhu dengan lafaz yang sama]
Dan
beberapa lafaz lain yang diriwayatkan dari para sahabat dan tabi’in, namun
tidak ada dalil adanya lafaz khusus dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam
sehingga dalam perkara ini terdapat keluasan [Lihat Asy-Syarhul
Mumti’, Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin –rahimahullah-, 5/169-171].
Kelima: Sholat ‘Ied dan Berqurban
Allah
ta’ala berfirman,
فَصَلِّ
لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka
sholatlah hanya untuk Rabb-mu dan berqurbanlah hanya untuk-Nya.” [Al-Kautsar: 2]
Banyak
ahli tafsir menjelaskan bahwa maksud sholat dan qurban dalam ayat di atas adalah
sholat ‘iedul adha dan berqurban pada hari itu setelah melaksanakan sholat.
Penafsiran
tersebut sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,
إِنَّ
أَوَّلَ مَا نَبْدَأُ بِهِ فِي يَوْمِنَا هَذَا أَنْ نُصَلِّيَ ثُمَّ نَرْجِعَ
فَنَنْحَرَ فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ أَصَابَ سُنَّتَنَا ، وَمَنْ ذَبَحَ
قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَإِنَّمَا هُوَ لَحْمٌ عَجَّلَهُ لأَهْلِهِ لَيْسَ مِنَ
النُّسُكِ فِي شَيْءٍ
“Sesungguhnya
pertama kali yang akan kita kerjakan pada hari ini adalah sholat, kemudian kita
kembali, lalu kita berqurban. Maka barangsiapa yang melakukan itu, berarti dia
telah mengamalkan sunnah kami dengan tepat, dan barangsiapa yang menyembelih
sebelum sholat maka itu hanyalah daging biasa yang dia berikan untuk
keluarganya dan bukanlah sebuah nusuk (ibadah qurban) sama sekali.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Al-Baro’ bin ‘Azib radhiyallahu’anhu]
Keenam: Memperbanyak Do’a dan Dzikir pada hari Arafah
(Terutama bagi Jama’ah Haji)
Disunnahkan
bagi kaum muslimin secara umum, selain berpuasa pada hari Arafah, untuk lebih
memperbanyak do’a dan dzikir pada hari Arafah. Terutama bagi jama’ah haji,
sehingga pada hari Arafah tidak disyari’atkan bagi jama’ah haji untuk berpuasa
agar mereka bisa lebih kuat untuk memperbanyak do’a dan dzikir kepada Allah
ta’ala.
Nabi shallallahu’alaihi
wa sallam bersabda,
مَا
مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ
مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ الْمَلاَئِكَةَ
فَيَقُولُ مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ
“Tidaklah
ada satu hari yang Allah membebaskan hamba dari api neraka lebih banyak dari
hari Arafah. Sesungguhnya Allah mendekat, kemudian membanggakan hamba-hamba-Nya
kepada para malaikat, seraya berfirman, apa yang mereka inginkan.” [HR. Muslim dari Aisyah radhiyallahu’anha]
Juga
sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,
خَيْرُ
الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ
مِنْ قَبْلِى لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ
وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ
“Sebaik-baik
do’a adalah do’a pada hari Arafah. Dan sebaik-baik dzikir yang aku ucapkan dan
juga diucapkan para nabi sebelumku adalah,
لاَ
إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ
وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ
“Laa
ilaaha illaLlahu wahdah, laa syariika lah, lahul mulku wa lahul hamdu, wa huwa
‘ala kulli syaiin Qodiir” (Tidak ada yang berhak disembah selain Allah
yang satu saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya kekuasaan dan milik-Nya
segala pujian, dan Dia Maha Mampu atas segala sesuatu).” [HR. At-Tirmidzi no. 3585 dari ‘Amr bin
Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya radhiyallahu’anhu, dihasankan
Asy-Syaikh Al-Albani]
Ketujuh: Bagi yang Telah Berniat untuk Menyembelih Kurban,
Tidak Dibolehkan untuk Memotong Rambut Seluruh Tubuhnya, Kulitnya dan Kukunya
Mulai tanggal 1 Dzulhijjah sampai Menyembelih Qurbannya
Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا
دَخَلَتِ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ
شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا
“Apabila
telah masuk sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, dan salah seorang dari
kalian telah berniat untuk berqurban, maka janganlah ia memotong rambutnya dan
kulitnya sedikitpun.” [HR. Muslim dari Ummu
salamah radhiyallahu’anha]
Dalam
riwayat yang lain,
فَلاَ
يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّىَ
“Janganlah
ia memotong rambutnya dan kuku-kukunya sedikitpun sampai ia menyembelih.” [HR. Muslim dari Ummu Salamah radhiyallahu’anha]
Tidak
boleh dipotong juga bermakna tidak boleh dihilangkan dengan cara lain seperti
dipecahkan, dibakar dan lain sebagainya. Ketentuan ini berlaku bagi
seseorang yang telah berniat untuk berkurban, adapun keluarganya yang akan ia
sertakan, tidaklah berlaku bagi mereka. Dan rambut yang dimaksud dalam hadits
di atas, mencakup rambut seluruh tubuhnya, baik di kepalanya maupun badannya. WaLlahu
A’lam.
وبالله
التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
Sumber
: http://bit.ly/2aYNm3S
Tidak ada komentar:
Posting Komentar