Peran Nyata
Kaum Agamawan, Ulama dan Santri dalam Merintis Kemerdekaan dan Melawan Kaum Penjajah Misionaris
Belanda
===================================
Kemerdekaan
Indonesia
yang kini telah memasuki tahun ke-71 diraih melalui perjuangan panjang. Para
Kiyai, bersama santri dan umat Islam sejak awal telah berjuang menentang
kolonialisme, jauh sebelum kehadiran para mahasiswa yang pulang dari Eropa.
Sebagaimana
disampaikan sejarawan Universitas Indonesia ,
Dr. Tiar Anwar Bachtiar, kemerdekaan Indonesia adalah rangkaian sejarah
panjang dalam menghadapi kolonialisme. Yang dihadapi bangsa Indonesia kala
masa kolonialisme Belanda, bukan hanya pasukan penjajah tetapi juga birokrasi
kolonial. Mereka itu adalah bangsawan, raja-raja yang menjadi pendukung Belanda
setelah kalah perang.
“Jadi siapa
yang melawan, hampir dipastikan yang melawan bukan kelompok bangsawan atau
orang-orang yang menjadi birokrasi kolonial. Karena mereka pegawainya Belanda,”
kata Tiar kepada Kiblat.net, Ahad (14/08) di Jakarta.
“Sejarah
mencatat yang melakukan perlawanan adalah di luar kelompok itu, di luar
kelompok itu berarti kelompok masyarakat. Masyarakat ini harus ada pemimpinnya,
tapi pemimpinnya sudah ikut Belanda. Jadi yang memimpin masyarakat secara
informal untuk melawan Belanda adalah pemimpin masyarakat juga, nah pemimpin
masyarakat yang menggerakkan melawan kolonial adalah kyai,” terangnya.
Belanda
mulai menguasai Indonesia
sejak abad 19. Keberadaan penguasa kafir di Indonesia kala itu mendorong para
ulama menyerukan untuk jihad. “Pangeran Diponegoro misalnya, meskipun dia
pangeran tapi dia melawan bersama masyarakat, kyai,” ujarnya.
Perjuangan
para kiyai bersama Pangeran Diponegoro itu terbukti dengan dijadikannya Sentot
Alibasya sebagai penasihat, dan Kyai Mojo menjadi pemimpin spiritual dan
militernya. Para santri juga terlibat dalam
perjuangan kala itu.
Hal serupa
juga terjadi di banyak daerah di Nusantara. Pertempuran Bajarmasin, Cilegon,
Garut, Bakuserangin, dan Cirebon ,
semuanya melibatkan para kiyai beserta santrinya. Pada saat itu, yang memiliki
kesadaran untuk melawan adalah kelompok Islam. Pasalnya, kaum birokrat sudah
terkena pengaruh Belanda.
“Kalau kita
mengabaikan fakta ini, kita mengabaikan bahwa yang mempertahankan kedaulatan
adalah umat islam, kyai dan santrinya,” imbuh Tiar.
Doktor
sejarah lulusan Universitas Indonesia
itu menambahkan bahwa kelompok non santri baru muncul melawan Belanda pada abad
20, yang kebanyakan berasal dari bkalangan birokrasi bangsawan. Hal itu terjadi
ketika mereka baru menyelesaikan kuliah di Amerika maupun Eropa. Ketika mereka
pulang, mereka membuat gerakan-gerakan seperti Perhimpunan Indonesia, Indische
Partij (Partai Hindia), Indonesia Study Club, sampai muncul Sumpah Pemuda.
“Tapi itu
abad 20, nah kelompok Islam, kyai dan santri itu sudah berabad-abad sebelumnya.
Dan gerakan islam itu sudah muncul sejak lama. Misalnya 1905, sebelum
kedatangan pelajar-pelajar dari luar, yang mempertahankan ekonomi itu Haji
Samanhudi, dia mendirikan SDI (Sarekat Dagang Islam),” ungkap Tiar.
Keberadaan
SDI berfungsi mempertahankan ketahanan ekonomi msyarakat. Tak lama kemudian
muncul HOS Tjokroaminoto dengan Sarekat Islam, hingga berdirinya Muhamadiyah
dan Nahdlatul Ulama. Gerakan-gerakan Islam tersebut melakukan perjuangan secara
berkesinambungan, dari melakuakan perlawanan militer hingga perjuangan di jalur
lain.
“Kalau yang
tiba-tiba muncul seperti Budi Utomo, itu mereka tidak pernah punya sejarah
perlawanan militer. Tapi kalau ummat Islam itu melakukan perlawanan militernya
didahulukan baru kemudian berjuang dengan organisaasi dan sebagainya,” ungkap
Tiar.
Sejarah
umat Islam dalam perjuangan mempertahankan kedaulatan bangsa tidak pernah
diceritakan. Jadi, menurut Tiar, seolah-olah kemerdekaan Indonesia itu
milik orang sekuler. “Jadi ibaratnya orang sekuler itu ada lomba lari, dia
menunggu di akhir, menunggu finish. Akhirnya kemerdekaan Indonesia
dimenangkan oleh kelompok-kelompok sekuler,” pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar